Minggu, 30 Januari 2011

Puisi puisi SUTARDJI CALZOUM BACHRI


SATU


kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku
ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu

daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku


POT
Pot apa pot itu pot kaukah pot aku
pot pot pot
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot aku
pot pot pot
potapapotitu potkaukah potaku?
POT

JADI
tidak setiap derita
jadi luka
tidak setiap sepi
jadi duri
tidak setiap tanda
jadi makna
tidak setiap tanya
jadi ragu
tidak setiap jawab
jadi sebab
tidak setiap seru
jadi mau
tidak setiap tangan
jadi pegang
tidak setiap kabar
jadi tahu
tidak setiap luka
jadi kaca
memandang Kau
pada wajahKu!






SAJAK BABI I
batu demam
sungai pingsan
laut luka
kapal berdarah
nelayan jam
berenang
nuju 00.00
waktu babi


HEMAT
dari hari ke hari
bunuh diri pelan-pelan
dari tahun ke tahun
bertimbun luka di badan
maut menabungKu
segobang-segobang




WARISAN
kuterima luka ini
bagai ibu
bagai kakek
bagai datuk
dari datukdatukdatukdatukku…
mendapatkannya
tik
tik
ngucur mendetak
antik
lukalama di mula abad
masih sama denyarnya
ngilu
mendenyut
mancarkan marwah


DENYUT
akan kau kau kan kah hidupmu
kau nanti kau akan kau mau kau mau
siapa yang tikam burung yang waktu
waktukutukku waktukutukku waktukutukku waktukutukku
kapan kau sayap diamnya batu
battuba battubi battubu
yang langit yang gapai tang sangsai
denyutku denyutku denyutku






TAK
guruh takada kilat tak teriak takada panggil tak
bisik takada himbau cakap takada kata tak
angin takada desir tak gerak takada tanda tak
sayap takada langit tak tangan takada gapai tak
ada takada kau tak
lengangngng
datanglah Tempelengngngngng!


IDUL FITRI

Lihat
Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia
Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah
Yang tak hanya nuju Ka’bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya
Maka aku girang-girangkan hatiku
Aku bilang:
Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
Namun si bandel Tardji ini sekali merindu
Takkan pernah melupa
Takkan kulupa janji-Nya
Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta
Maka walau tak jumpa denganNya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat
semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa
O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu
di ujung sisa usia
O usia lalai yang berkepanjangan
Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir
tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia
Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illAllah
aku pakai sepatu sirathal mustaqim
aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id
Aku bawa masjid dalam diriku
Kuhamparkan di lapangan
Kutegakkan shalat
Dan kurayakan kelahiran kembali
di sana



BATU
     
     batu mawar
     batu langit
     batu duka
     batu rindu
     batu janun
     batu bisu
     kaukah itu
     teka
     teki
     yang
     tak menepati janji ?
 Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
 hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
 seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
 Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampaI mengapa gunung harus  meletus     sedang langit tak sampai mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai. Kau tahu

               batu risau
               batu pukau
               batu Kau-ku
               batu sepi
               batu ngilu
               batu bisu
               kaukah itu
               teka
               teki
               yang
               tak menepati
               janji ?







WAHAI PEMUDA MANA TELURMU?

Apa gunanya merdeka
Kalau tak bertelur
Apa guna bebas
Kalau tak menetas?

Wahai bangsaku
Wahai pemuda
Mana telurmu?

Kepompong menetaskan kupukupu
Kuntum mengantar bunga
Putik memanggil buah

Buah menyimpan biji
Biji menyimpan mimpi
menyimpan pohon
dan bungabunga

Uap terbang menetas awan
mimpi jadi
sungai pun jadi

menetas jadi
hakekat lautan
Setelah kupikir pikir

manusia itu
ternyata burung berpikir
Setelah kurenung renung
manusia ternyata

burung merenung
Setelah bertafakur
Tahulah aku
Manusia harus bertelur

Burung membuahkan telur
Telur menjadikan burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah

Wahai para pemuda
Menetaslah kalian
Lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini!

Ayo Garuda
Mana telurmu?
Menetaslah
Seperti dulu
Para pemuda
bertelur emas

Menetaskan kau
Dalam sumpah mereka

(7 Agustus 2010)

               
 Sutardji Calzoum Bachri 


(lahir di RengatIndragiri Hulu24 Juni 1941; umur 69 tahun) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi NegaraUniversitas PadjadjaranBandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.

Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.

Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa CityAmerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.

Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (CalcuttaIndia), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa BelandaDichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di BangkokThailand.

O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.






KREDO PUISI SUTARDJI
Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor(obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sebdiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai penyair saya hanya menjaga–sepanjang tidak mengganggu kebebasannya– agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.
Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Sutardji Calzoum Bachri
Bandung, 30 Maret 1973.
Filed under: Biografi Sastrawan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar