KITA ADALAH PEMILIK SAH NEGERI INI
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
1966
SURAT INI ADALAH SEBUAH SAJAK TERBUKA
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Ditulis pada sebuah sore yang biasa.Oleh
Seorang warga negara biasa
Dari republik ini
Ditulis pada sebuah sore yang biasa.Oleh
Seorang warga negara biasa
Dari republik ini
Surat ini ditujukan kepada
Penguasa-penguasa negeri ini. Mungkin dia
Bernama Presiden. Jenderal. Gubernur.
Barangkali dia Ketua MPRS
Taruhlah dia anggota DPR
Atau pemilik sebuah perusahaan politik
(bernama partai)
Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa
Atau Menteri. Apa sajalah namanya
Malahan mungkin dia saudara sendiri
Penguasa-penguasa negeri ini. Mungkin dia
Bernama Presiden. Jenderal. Gubernur.
Barangkali dia Ketua MPRS
Taruhlah dia anggota DPR
Atau pemilik sebuah perusahaan politik
(bernama partai)
Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa
Atau Menteri. Apa sajalah namanya
Malahan mungkin dia saudara sendiri
Jika ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah murahnya? Agaknya
Setiap bayi dilahirkan di Indonesia
Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya
Dan menjeritkan tangis-bayinya yang pertama
Ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya
Di kamar bersalin
Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin
Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini
Ketika itu tak seorangpun tahu
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah murahnya? Agaknya
Setiap bayi dilahirkan di Indonesia
Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya
Dan menjeritkan tangis-bayinya yang pertama
Ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya
Di kamar bersalin
Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin
Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini
Ketika itu tak seorangpun tahu
Bahwa 20, 22 atau 25 tahun kemudian
Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri
Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi
Serta pajak kita semua
Di jalan raya.di depan kampus atau di mana saja
Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yang
Melahirkannya. Jauh dari ayahnya
Yang juga mungkin sudah tiada
Bayi itu pecahlah dadanya. Mungkin tembus keningnya
Darah telah mengantarkannya ke dunia
Darah kasih sayang
Darah lalu melepasnya dari dunia
Darah kebencian
Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri
Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi
Serta pajak kita semua
Di jalan raya.di depan kampus atau di mana saja
Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yang
Melahirkannya. Jauh dari ayahnya
Yang juga mungkin sudah tiada
Bayi itu pecahlah dadanya. Mungkin tembus keningnya
Darah telah mengantarkannya ke dunia
Darah kasih sayang
Darah lalu melepasnya dari dunia
Darah kebencian
Yang ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah gampangnya?
Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian
Begitu benarkah murahnya? Mungkin sebuah
Nama lebih penting
Disiplin tegang dan kering
Mungkin pengabdian kepada negara asing
Lebih penting
Mungkin
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah gampangnya?
Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian
Begitu benarkah murahnya? Mungkin sebuah
Nama lebih penting
Disiplin tegang dan kering
Mungkin pengabdian kepada negara asing
Lebih penting
Mungkin
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Maafkan para studen sastra. Saya telah
Maafkan para studen sastra. Saya telah
Menggunakan bahasa terlalu biasa
Untuk puisi ini. Kalaulah ini bisa disebut puisi
Maalkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa
Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun
Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa
Kita tak bisa membiarkannya lebih lama)
Untuk puisi ini. Kalaulah ini bisa disebut puisi
Maalkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa
Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun
Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa
Kita tak bisa membiarkannya lebih lama)
Kemudian kita dipenuhi pertanyaan
Benarkah nyawa begitu murah harganya?
Untuk suatu penyelesaian
Benarkah harga-diri manusia kita
Benarkah kemanusiaan kita
Begitu murah untuk umpan sebuah pidato
Sebuah ambisi
Sebuah ideologi
Sebuah coretan sejarah
Benarkah?
Benarkah nyawa begitu murah harganya?
Untuk suatu penyelesaian
Benarkah harga-diri manusia kita
Benarkah kemanusiaan kita
Begitu murah untuk umpan sebuah pidato
Sebuah ambisi
Sebuah ideologi
Sebuah coretan sejarah
Benarkah?
1965
KEMBALIKAN INDONESIA PADAKU
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 watt,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 watt,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Indonesia
padaku
KERENDAHAN HATI
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit
jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau
kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, jadilah saja rumput,
tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan
kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, jadilah saja rumput,
tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya, jadilah saja jalan kecil
Tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air
Tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya..
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu
jadilah saja dirimu..
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu
jadilah saja dirimu..
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri
Malu ( aku) Jadi Orang Indonesia
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Sebuah Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
1966
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
1966
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba Sore itu
‘Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati Siang tadi.’
1966
Salemba
Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak pelahan
Menuju pemakaman Siang ini
Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani.
1966
1966
Tableau Menjelang Malam
Deretan bangunan.
Abu-abu Langit hitam dan sten.
Menunggu Lalu lintas sepi
Semua menanti Jendela bertutupan.
Apa akan terjadi Di sini
Semua menanti.
1966
1966
Dari Catatan Demonstran
Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan
Di sinilah keberanian diuji
Di sinilah keberanian diuji
kebenaran dicoba dihancurkan
Pada hari-hari berkabung
Di depan menghadang ribuan lawan.
1966
1966
Percakapan Angkasa
“Siapa itu korban di bumi
Hari ini?”
Tanya Awan
Pada Angin
“Seorang anak muda
Dia amat berani,”
Jawab Angin
“Berembuslah kau, dan hentikan saya
Tepat di atas kota ini.”
Awan dan Angin
Berhentilah siang hari
Di atas negeri ini
“Wahai, teramat panjangnya
Arakan jenazah
Di bawah!
Raja manakah kiranyaYang wafat itu?”
“Bukan raja,”
Jawab Angin
“Pangeran agaknya?”
“Pangeran bukan
Dia hanya kawula biasa
Seorang anak muda.”
“Tapi mengapa begitu banyak Orang berjajar di tepi jalan
Ibu-ibu membagikan minuman
Di depan rumah-rumah mereka
Orang-orang melontarkan buah-buahan
Dalam arak-arakan
Dan saya lihat pula
ereka bertangisan
Di kuburan Siapa dia sebenarnya Wahai Sang Angin?”
“Dialah anak muda Yang perkasa
Di antara kawan-kawannya Yang terluka
Dia telah mendahului Menghadap Ilahi
Seluruh negeri ini
Mengibarkan bendera nestapa Baginya
Menangisi kepergiannya Dalam duka
Seluruh negeri ini
Yang terlalu lama dizalimi
Telah belajar kembali Untuk menjadi berani
Dalam berbuat Untuk menjadi berani Menghadapi mati.”
Kata Sang Awan pula:“Sangat menarik sekali Kisahmu, ya Angin
Tapi sebelum kita pergi
Mengembara ke bagian bumi yang lain
Katakan pada saya
Karena kau tahu banyak
Tentang negeri ini
Katakan pada saya
Untuk apa anak muda itu mati?”
Sang Angin tersenyum dan berkata:
“Untuk dua patah kata, dia
Rela mati
Dalam usia muda sekali.”
“Apa gerangan itu?”Tanya Sang Awan
“Menegakkan Kebenaran,”sahut Sang Angin“Dan Keadilan.”
Dan mereka berdua
Mulailah ngembara lagi
Sementara senja
Turun ke bumi
1966
Hari ini?”
Tanya Awan
Pada Angin
“Seorang anak muda
Dia amat berani,”
Jawab Angin
“Berembuslah kau, dan hentikan saya
Tepat di atas kota ini.”
Awan dan Angin
Berhentilah siang hari
Di atas negeri ini
“Wahai, teramat panjangnya
Arakan jenazah
Di bawah!
Raja manakah kiranyaYang wafat itu?”
“Bukan raja,”
Jawab Angin
“Pangeran agaknya?”
“Pangeran bukan
Dia hanya kawula biasa
Seorang anak muda.”
“Tapi mengapa begitu banyak Orang berjajar di tepi jalan
Ibu-ibu membagikan minuman
Di depan rumah-rumah mereka
Orang-orang melontarkan buah-buahan
Dalam arak-arakan
Dan saya lihat pula
ereka bertangisan
Di kuburan Siapa dia sebenarnya Wahai Sang Angin?”
“Dialah anak muda Yang perkasa
Di antara kawan-kawannya Yang terluka
Dia telah mendahului Menghadap Ilahi
Seluruh negeri ini
Mengibarkan bendera nestapa Baginya
Menangisi kepergiannya Dalam duka
Seluruh negeri ini
Yang terlalu lama dizalimi
Telah belajar kembali Untuk menjadi berani
Dalam berbuat Untuk menjadi berani Menghadapi mati.”
Kata Sang Awan pula:“Sangat menarik sekali Kisahmu, ya Angin
Tapi sebelum kita pergi
Mengembara ke bagian bumi yang lain
Katakan pada saya
Karena kau tahu banyak
Tentang negeri ini
Katakan pada saya
Untuk apa anak muda itu mati?”
Sang Angin tersenyum dan berkata:
“Untuk dua patah kata, dia
Rela mati
Dalam usia muda sekali.”
“Apa gerangan itu?”Tanya Sang Awan
“Menegakkan Kebenaran,”sahut Sang Angin“Dan Keadilan.”
Dan mereka berdua
Mulailah ngembara lagi
Sementara senja
Turun ke bumi
1966
Geometri
Dan titik ini
Sedang kita tarik garis lurus Ke titik berikutnya
Segala komponen Telah jelas.
Segala komponen Telah jelas.
Dalam soal Yang sederhana.
1966
1966
Aviasi
Sebuah heli melayang-layang
Pada siang yang panas
Pada siang yang panas
Di langit ibu kota
Berjuta mata memandang
Berjuta mata memandang
Tengadah ke atas
Tak lagi bertanya-tanya
Setiap kita jumpa di jalan
Setiap kita jumpa di jalan
Sejak jam lima tadi pagi
Tak ada yang bimbang lagi
Telah kita lumpuhkan urat nadi
Sepi dan tegang di jalanan.
1966
1966
Harmoni
Enam barikade telah dipasang
Pagi ini Ketika itu langit pucat
Di atas Harmoni
Senjata dan baju-baju perang
Senjata dan baju-baju perang
Depan kawat berduri
Kota yang pengap Gelisah menanti
Bendera setengah tiang
Bendera setengah tiang
Di atas Gayatri Seorang ibu menengadah
Menyeka matanya yang basah.
1966
1966
Jalan Segara
Di sinilah penembakan
Kepengecutan Dilakukan
Ketika pawai bergerak
Ketika pawai bergerak
Dalam panas matahari
Dan pelor pembayar pajak Negeri ini
Ditembuskan ke punggung Anak-anaknya sendiri.
1966
Dan pelor pembayar pajak Negeri ini
Ditembuskan ke punggung Anak-anaknya sendiri.
1966
Merdeka Utara
Dua buah panser Saladin
Dengan roda-roda berat
Rintangan-rintangan jalan
Selebihnya kesenyapan
Dua buah tikungan yang bisu
Dua buah tikungan yang bisu
Seseorang memegang bren
Langit pagi yang biru
Menjadi ungu, menjadi ungu.
1966
1966
Benteng
Sesudah siang panas yang meletihkan
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke kampus ini berlindung
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dan para dermawan tidak dikenal
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping
Kontingen Bandung Ada yang berjaket Bogor.
Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya tak bicara
Tapi kita tidak akan terpatahkan
Oleh seribu senjata dan seribu tiran
Tak sempat lagi kita pikirkan
Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan kecil seharian
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.
1966
1966
06:30
Di pusat Harmoni
Pada papan adpertensi (Arloji Castell)
Tertulis begini: “Dunia Kini Membutuhkan Waktu Yang Tepat”
Di belakangnya langit pagi
Di belakangnya langit pagi
Tembok sungai dan kawat berduri
Pengawalan berjaga. Di istana
Arloji Castell Berkata pada setiap yang lewat
Arloji Castell Berkata pada setiap yang lewat
“Dunia Kini Membutuhkan Waktu Yang Tepat”.
1966
1966
Silhuet
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang lelah
Angin jalanan yang panjang
Tak ada rumah.
Kita tak berumah Kita hanya bayang-bayang
Gerimis telah menangis
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang letih Di atas jasad yang pedih
Kita lapar. Kita amat lapar Bayang-bayang yang lapar
Gerimis telah menangis
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang sepi
Sehabis pawai genderang
Angin jalanan yang panjang
Menyusup-nyusup Menusuk-nusuk
Bayang-bayang berjuta
Bayang-bayang berjuta
Berjuta bayang-bayang
Di bawah bayangan pilar
Di bawah bayangan pilar
Di bawah bayangan emas
Berjuta bayang-bayang
Menangisi gerimis Menangisi gunung api
Kabut yang ungu
Membelai perlahan
Hutan-hutan Di selatan.
Juli, 1965
Juli, 1965
Bendera
Mereka yang berpakaian hitam
Telah berhenti di depan sebuah rumah
Yang mengibarkan bendera duka
Dan masuk dengan paksa
Mereka yang berpakaian hitam
Mereka yang berpakaian hitam
Telah menurunkan bendera itu
Di hadapan seorang ibu yang tua
“Tidak ada pahlawan meninggal dunia!”
Mereka yang berpakaian hitam
Mereka yang berpakaian hitam
Dengan hati yang kelam
Telah meninggalkan rumah itu
Tergesa-gesa
Kemudian ibu tua itu
Kemudian ibu tua itu
Pelahan menaikkan kembali
Bendera yang duka
Bendera yang duka
Ke tiang yang duka.
1966
1966
Nasihat-Nasihat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa
Jika adalah yang harus kaulakukan Ialah menyampaikan Kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan Ialah yang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kautumbangkan Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kauagungkan Ialah hanya Rasul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati Ialah syahid di jalan Ilahi.
April, 1965
April, 1965
Persetujuan
Momentum telah dicapai.
Kita Dalam estafet amat panjang
Menyebar benih ini di bumi
Telah sama berteguh hati
Adikku Kappi, engkau sangat muda
Adikku Kappi, engkau sangat muda
Mari kita berpacu dengan sejarah
Dan kini engkau di muka!
1966
1966
La Strada atau Jalan Terpanggang Ini
Kini anak-anak itu telah berpawai pula
Dipanggang panas matahari ibukota
Setiap lewat depan kampus berpagar senjata
Mereka berteriak dengan suara tinggi
“Hidup kakak-kakak kami!”
Mereka telah direlakan ibu bapa
Mereka telah direlakan ibu bapa
Warganegara biasa negeri ini
Yang melepas dengan doa
Setiap pagi
Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah
Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah
Kini telah melangkahkan sejarah.
1966
1966
Dari Ibu Seorang Demonstran
“Ibu telah merelakan kalian Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan Kemerdekaan negeri ini
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada Atau gas airmata
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada Atau gas airmata
Tapi langsung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi Ayah kalian almarhum Delapan belas tahun yang lalu
Pergilah pergi, setiap pagi
Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut matanya)
Tapi ingatlah, sekali lagi
Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama kalian (Ibu itu tersedu sesaat)
Ibu relakan
Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kauteriakkan kebencian Atau dendam kesumat Pada seseorang
Walaupun betapa zalimnya Orang itu
Niatkanlah menegakkan kalimah Allah Di atas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah setiap pagi
Sunyi dari dendam dan kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan Serta Rasul kita yang tercinta
Pergilah pergi Iwan, Ida dan Hadi Pergilah pergi Pagi ini.”
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka Dan berangkatlah mereka bertiga Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata).
1966
Pergilah pergi Iwan, Ida dan Hadi Pergilah pergi Pagi ini.”
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka Dan berangkatlah mereka bertiga Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata).
1966
Yell
Tiga truk terbuka
Lewat depan rumah
Mereka menyanyi gembira “Buat Apa Sekolah”
Tas buku di tangan kiri
Tas buku di tangan kiri
Dibakar matahari, tak bertopi
Mereka meneriakkan Kebenaran
Yang telah lama dibungkamkan.
1966
1966
Oda Bagi Seorang Supir Truk
Sebuah truk lama
Dengan supir bersahaja
Telah beruban dan agak bungkuk
Di atas stirnya tertidur
Di tepi jalan yang sepi
Di suatu senja musim ini
Dalam tidurnya ia bermimpi Jalanan telah rata.
Dalam tidurnya ia bermimpi Jalanan telah rata.
Ditempuhnya Dengan sebuah truk baru
Dengan klakson yang bisa berlagu
Dan di sepanjang jalanan
Beribu anak-anak demonstran
Tersenyum padanya, mengelu-elukan
“Hiduplah bapak supir yang tua Yang dulu berjuang bersama kami Selama demonstrasi!”
Di tepi sebuah jalan di ibukota
Di tepi sebuah jalan di ibukota
Ketika udara panas, di suatu senja
Seorang supir lusuh dengan truk yang tua
Duduk sendiri terkantuk-kantuk
Semakin letih, semakin bungkuk.
1966
1966
Horison
Kami tidak bisa dibubarkan
Apalagi dicoba dihalaukan
Dari gelanggang ini
Karena ke kemah kami
Karena ke kemah kami
Sejarah sedang singgah
Dan mengulurkan tangannya yang ramah
Tidak ada lagi sekarang waktu
Tidak ada lagi sekarang waktu
Untuk merenung panjang, untuk ragu-ragu
Karena jalan masih jauh
Karena Arif telah gugur
Dan luka-luka duapuluh-satu.
1966
1966
Rendez-Vous
Sejarah telah singgah
Ke kemah kami Ia menegur sangat ramah
Dan mengajak kami pergi
“Saya sudah mengetuk-ngetuk Pintu yang lain,” Katanya
“Saya sudah mengetuk-ngetuk Pintu yang lain,” Katanya
“Tapi amat heran Mereka berkali-kali menolakku Di ambang pintu.”
Kini kami beratus-ribu
Mengiringkan langkah Sejarah
Dalam langkah yang seru Dan semakin cepat
Semakin dahsyat Menderu-deru
Dalam angin berputar
Dalam angin berputar
Badai peluru
Topan bukit batu!
1966
1966
Kata Itu, Suara Itu
Tiga buah panser kavaleri
Membayang hitam malam ini Kami sama berjaga.
Semua hening
Seorang anak empat belas tahun
Bertukar api rokok dengan kopral ini
Gugus api berlompatan
Cocktail Molotov di sudut berjajaran
Sebagian tidur, sebagian berkawal
Mungkin sebentar lagi mereka dibangunkan
Atau pagi-pagi sekali bergerak
Menyandang AK, perajurit ini berpapasan
Dengan yang berjaket kuning, dalam gelap
Tanpa kata, tanpa suara
Ruangan yang suram Langit yang hitam
Tiada kata, tiada suara
Tapi satu sama lain tahu kata itu Tahu suara itu
Suara bumi ini Suara berjuta
Mereka berempat berjagalah malam ini
Tanpa kata, tiada suara
Tapi satu sama lain Tahu kata itu Paham suara itu.
1966
1966
Malam Sabtu
Berjagalah terus
Segala kemungkinan bisa terjadi Malam ini
Maukah kita dikutuk anak-cucu
Maukah kita dikutuk anak-cucu
Menjelang akhir abad ini
Karena kita kini berserah diri?
Tidak. Tidak bisa
Tujuh korban telah jatuh.
Tujuh korban telah jatuh.
Dibunuh Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri
Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya
Apakah kita hanya akan bernafas panjang
Dan seperti biasa: sabar mengurut dada?
Tidak. Tidak bisa
Dengarkan.
Dengarkan.
Dengarkanlah di luar itu
Suara doa berjuta-juta Rakyat yang resah dan menanti
Mereka telah menanti lama sekali
Menderita dalam nyeri
Mereka sedang berdoa malam ini
Dengar. Dengarlah hati-hati.
1966
1966
Kemis Pagi
Hari ini kita tangkap tangan-tanganKebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan meterai kerajaan
Dengan suara lantang memperatas-namakan Kawula dukana yang berpuluh-juta
Hari ini kita serahkan mereka
Hari ini kita serahkan mereka
Untuk digantung di tiang Keadilan
Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun lamanya
Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa
Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa
Membeli benda-benda tanpa-harga di manca-negara
Dan memperoleh uang emas beratus-juta
Bagi diri sendiri, di bank-bank luar negeri
Merekalah penganjur zina secara terbuka
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita
Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Kebanyakan anak-anak muda berumur baru belasan
Yang berangkat dari rumah, pagi tanpa sarapan
Telah kita naiki gedung-gedung itu
Mereka semua pucat, tiada lagi berdaya
Seorang ketika digiring, tersedu
Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya
Dan berjalan perlahan dengan lemahnya.
1966
1966
Memang Selalu Demikian, Hadi
Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat
Jangan kau gusar, Hadi
Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi
Setiap perjuangan yang akan menang
Setiap perjuangan yang akan menang
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Dan para jagoan kesiangan
Memang demikianlah halnya, Hadi.
1966
Memang demikianlah halnya, Hadi.
1966
Stasiun Tugu
Tahun empatpuluh tujuh, suatu malam di bulan Mei
Ketika kota menderai dalam gerimis yang renyai
Di tiang barat lentera merah mengerjap dalam basah
Menunggu perlahan naiknya tanda penghabisan
Kleneng andong terputus di jalan berlinangan
Kleneng andong terputus di jalan berlinangan
Suram ruang setasiun, beranda dan tempat menunggu
Truk menderu dan laskar berlagu lagu perjuangan
Di Tugu seorang ibu menunggu, dua anak dipangku
Berhentilah waktu di stasiun Tugu, malam ini
Berhentilah waktu di stasiun Tugu, malam ini
Di suatu malam yang renyai, tahun empatpuluh tujuh
Para penjemput kereta Jakarta yang penghabisan
Hujan pun aneh di bulan Mei, tak kunjung teduh
Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah
Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah
Anak perempuan itu dua tahun, melekap dalam pangkuan
Malam makin lembab, kuning gemetar lampu stasiun
Kakaknya masih menyanyi ‘Satu Tujuh Delapan Tahun’
Udara telah larut tanda naik pelan-pelan
Udara telah larut tanda naik pelan-pelan
Seluruh penjemput sama tegak, memandang ke arah barat
Ibu muda menjagakan anaknya yang kantuk dalam lena
Berkata: lambaikan tanganmu dan panggillah bapa
Wahai ibu muda, seharian atap-atap kota untukmu berbasah!
Wahai ibu muda, seharian atap-atap kota untukmu berbasah!
Karena kezaliman militer pagi tadi terjadi di Klender
Seluruh republik menundukkan kepala, nestapa dan resah
Uap ungu berdesir menyeret gerbong jenazah terakhir.
1963
1963
Orang Hutan
“Perkenalkan anak-anak, saya hewan!
Nama saya Orang Hutan
Hobi saya di pohon berayun-ayunan
Alamat saya hutan Kalimantan.”
Anak-anak sekelas jadi heran dan gelak-gelak
Nama saya Orang Hutan
Hobi saya di pohon berayun-ayunan
Alamat saya hutan Kalimantan.”
Anak-anak sekelas jadi heran dan gelak-gelak
Ada orang hutan lepas dari Kebun Binatang?
Tapi dia nampaknya baik dan tidak galak
Bentuknya memang seperti orang
Pak guru menerangkan di depan kelas
Pelajaran ilmu hewan supaya jelas:
“Memang di kalangan para hewan biasa
Orang Hutan paling mirip manusia”
“Tangannya ini panjang sekali, dua kali tinggi badan
Sering dipakai berayun dari dahan ke dahan pepohonan
Kakinya pendek, tapi jari kakinya pandai menggenggam
Sangat berguna di hutan siang dan malam”
Kemudian pak guru ilmu hayat berkata pula:
“Dia ini gemuk tak terkira
Kira-kira delapan puluh kilo berat badannya
Bulunya berwarna coklat tua”
Lantas dengan sopan dia minta permisi akan pergi segera
Pak guru menerangkan di depan kelas
Pelajaran ilmu hewan supaya jelas:
“Memang di kalangan para hewan biasa
Orang Hutan paling mirip manusia”
“Tangannya ini panjang sekali, dua kali tinggi badan
Sering dipakai berayun dari dahan ke dahan pepohonan
Kakinya pendek, tapi jari kakinya pandai menggenggam
Sangat berguna di hutan siang dan malam”
Kemudian pak guru ilmu hayat berkata pula:
“Dia ini gemuk tak terkira
Kira-kira delapan puluh kilo berat badannya
Bulunya berwarna coklat tua”
Lantas dengan sopan dia minta permisi akan pergi segera
Bersalaman dengan guru ilmu hayat dan anak-anak dilambainya
“Selamat jalan Orang Hutan, baik-baik di jalan ya.”
Dia pulang ke Kebun Binatang, lompat lewat jendela.
TAUFIK ISMAIL
Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935; umur 75 tahun, ialah seorang sastrawan Indonesia.
Dilahirkan di Bukittinggi, menghabiskan masa SD dan SMP di Bukittinggi dan SMA di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.
Semasa kuliah aktif sebgai Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan WaKa Dewan Mahasiswa UI (1961-1962).
Di Bogor pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor. Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa ke 15 negara dan menerima 1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih menjadi anggota Board of Trustees AFSIS di New York, 1974-1976.
Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan '66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerja sama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.
Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia,Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abadsebelumnya, di 3 tempat di Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar. Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang LaksamanaCheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di Yunan, RRC, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.
Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Mungkin dalam hal ini tiada teman baginya di Indonesia. Antologi puisinya berjudul Rendez-Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia (Rendez-Vous. Puisi Pilihan Taufiq Ismail. Moskow: Humanitary, 2004.)
Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993).
* http://goesprih.blogspot.com/2008/01/kembalikan-indonesia-padaku-hari-depan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar