Minggu, 24 April 2011

SEBUAH KARYA DALAM GRADASI WARNA,...




sekilas beginilah proses membuat sebuah sulaman,.. dimulai dari membuat pola di atas
kertas,.. kemudian memindah pola ke atas lain dengan bantuan karbon,.. dan memulai   proses menyulam.

hal hal yag perlu diingat:

  • mulailah menyulam bunga yang jadi centre of point,.. biasanya letaknya paling tengah atau bentuknya paling besar,
  • kalau menyulam daun lebh bagus tusukan pertama di mulai dari atas baru ke bawah
  • untuk bunga mulai dari kelopak baru ditambah intinya
  • sulaman batang dimulai dari ujung yang satu sampai ujung satunya
  • jangan lupa setelah menyelasaikan satu bentuk sulaman atau ketika pita sudah habis di ujung untuk dijahit, diikat dan diperkuat biar tidak lepas



































































Selamat mencoba  dan berkreasi,... jangan takut untuk mencoba dan menemukan hal2 yang baru,... inti semua ini adalah kreatifitas.

Kamis, 21 April 2011

puisi puisi TAUFIK ISMAIL


KITA ADALAH PEMILIK SAH NEGERI INI
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.

1966

SURAT INI ADALAH SEBUAH SAJAK TERBUKA

Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Ditulis pada sebuah sore yang biasa.Oleh
Seorang warga negara biasa
Dari republik ini

Surat ini ditujukan kepada
Penguasa-penguasa negeri ini. Mungkin dia
Bernama Presiden. Jenderal. Gubernur.
Barangkali dia Ketua MPRS
Taruhlah dia anggota DPR
Atau pemilik sebuah perusahaan politik
(bernama partai)
Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa
Atau Menteri. Apa sajalah namanya
Malahan mungkin dia saudara sendiri

Jika ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah murahnya? Agaknya
Setiap bayi dilahirkan di Indonesia
Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya
Dan menjeritkan tangis-bayinya yang pertama
Ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya
Di kamar bersalin
Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin
Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini
Ketika itu tak seorangpun tahu

Bahwa 20, 22 atau 25 tahun kemudian
Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri
Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi
Serta pajak kita semua
Di jalan raya.di depan kampus atau di mana saja
Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yang
Melahirkannya. Jauh dari ayahnya
Yang juga mungkin sudah tiada
Bayi itu pecahlah dadanya. Mungkin tembus keningnya
Darah telah mengantarkannya ke dunia
Darah kasih sayang
Darah lalu melepasnya dari dunia
Darah kebencian

Yang ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah gampangnya?
Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian
Begitu benarkah murahnya? Mungkin sebuah
Nama lebih penting
Disiplin tegang dan kering
Mungkin pengabdian kepada negara asing
Lebih penting
Mungkin

Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Maafkan para studen sastra. Saya telah

Menggunakan bahasa terlalu biasa
Untuk puisi ini. Kalaulah ini bisa disebut puisi
Maalkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa
Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun
Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa
Kita tak bisa membiarkannya lebih lama)
Kemudian kita dipenuhi pertanyaan
Benarkah nyawa begitu murah harganya?
Untuk suatu penyelesaian
Benarkah harga-diri manusia kita
Benarkah kemanusiaan kita
Begitu murah untuk umpan sebuah pidato
Sebuah ambisi
Sebuah ideologi
Sebuah coretan sejarah
Benarkah?
1965


KEMBALIKAN INDONESIA PADAKU




                      Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,

Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,

Kembalikan
Indonesia
padaku

Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 watt,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,

Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku





KERENDAHAN HATI

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit
jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau
kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, jadilah saja rumput,
tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya, jadilah saja jalan kecil
Tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya..
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu
jadilah saja dirimu..
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri



Malu ( aku) Jadi Orang Indonesia




Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya


Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia

Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.


Sebuah Jaket Berlumur Darah

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun


Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja


Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?


Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang


Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!


1966


Karangan Bunga


Tiga anak kecil 
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba Sore itu 


‘Ini dari kami bertiga
 Pita hitam pada karangan bunga 
Sebab kami ikut berduka 
Bagi kakak yang ditembak mati Siang tadi.’ 

1966


Salemba


Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak pelahan
Menuju pemakaman Siang ini 


Anakmu yang berani 
Telah tersungkur ke bumi 
Ketika melawan tirani.


1966


Tableau Menjelang Malam


Deretan bangunan.
Abu-abu Langit hitam dan sten.
Menunggu Lalu lintas sepi 
Semua menanti Jendela bertutupan.
Apa akan terjadi Di sini 
Semua menanti.


1966

Dari Catatan Demonstran


Inilah peperangan 
Tanpa jenderal, tanpa senapan 
Pada hari-hari yang mendung 
Bahkan tanpa harapan


Di sinilah keberanian diuji
kebenaran dicoba dihancurkan 
Pada hari-hari berkabung 
Di depan menghadang ribuan lawan.


1966


Percakapan Angkasa


“Siapa itu korban di bumi
Hari ini?”
Tanya Awan
Pada Angin


“Seorang anak muda
Dia amat berani,”
Jawab Angin


“Berembuslah kau, dan hentikan saya
Tepat di atas kota ini.”


Awan dan Angin
Berhentilah siang hari
Di atas negeri ini


“Wahai, teramat panjangnya
Arakan jenazah
Di bawah!
Raja manakah kiranyaYang wafat itu?”
“Bukan raja,”
Jawab Angin


“Pangeran agaknya?”
“Pangeran bukan
Dia hanya kawula biasa
Seorang anak muda.”


“Tapi mengapa begitu banyak Orang berjajar di tepi jalan
Ibu-ibu membagikan minuman
Di depan rumah-rumah mereka
Orang-orang melontarkan buah-buahan
Dalam arak-arakan
Dan saya lihat pula
ereka bertangisan
Di kuburan Siapa dia sebenarnya Wahai Sang Angin?”
“Dialah anak muda Yang perkasa
Di antara kawan-kawannya Yang terluka
Dia telah mendahului Menghadap Ilahi
Seluruh negeri ini
Mengibarkan bendera nestapa Baginya
Menangisi kepergiannya Dalam duka
Seluruh negeri ini
Yang terlalu lama dizalimi
Telah belajar kembali Untuk menjadi berani
Dalam berbuat Untuk menjadi berani Menghadapi mati.”
Kata Sang Awan pula:“Sangat menarik sekali Kisahmu, ya Angin
Tapi sebelum kita pergi
Mengembara ke bagian bumi yang lain
Katakan pada saya
Karena kau tahu banyak
Tentang negeri ini
Katakan pada saya
Untuk apa anak muda itu mati?”


Sang Angin tersenyum dan berkata:
“Untuk dua patah kata, dia
Rela mati
Dalam usia muda sekali.”


“Apa gerangan itu?”Tanya Sang Awan
“Menegakkan Kebenaran,”sahut Sang Angin“Dan Keadilan.”
Dan mereka berdua
Mulailah ngembara lagi
Sementara senja
Turun ke bumi


1966


Geometri


Dan titik ini
Sedang kita tarik garis lurus Ke titik berikutnya


Segala komponen Telah jelas. 
Dalam soal Yang sederhana.


1966


Aviasi


Sebuah heli melayang-layang
Pada siang yang panas 
Di langit ibu kota


Berjuta mata memandang 
Tengadah ke atas 
Tak lagi bertanya-tanya


Setiap kita jumpa di jalan 
Sejak jam lima tadi pagi 
Tak ada yang bimbang lagi 
Telah kita lumpuhkan urat nadi 
Sepi dan tegang di jalanan.


1966


Harmoni


Enam barikade telah dipasang 
Pagi ini Ketika itu langit pucat 
Di atas Harmoni


Senjata dan baju-baju perang 
Depan kawat berduri 
Kota yang pengap Gelisah menanti


Bendera setengah tiang 
Di atas Gayatri Seorang ibu menengadah 
Menyeka matanya yang basah.


1966


Jalan Segara


Di sinilah penembakan 
Kepengecutan Dilakukan


Ketika pawai bergerak 
Dalam panas matahari


Dan pelor pembayar pajak Negeri ini


Ditembuskan ke punggung Anak-anaknya sendiri.


1966



Merdeka Utara


Dua buah panser Saladin 
Dengan roda-roda berat 
Rintangan-rintangan jalan 
Selebihnya kesenyapan


Dua buah tikungan yang bisu 
Seseorang memegang bren 
Langit pagi yang biru 
Menjadi ungu, menjadi ungu.


1966


Benteng


Sesudah siang panas yang meletihkan 
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas 
Dan kita kembali ke kampus ini berlindung 
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung


Di lantai bungkus nasi bertebaran 
Dan para dermawan tidak dikenal 
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan 
Lewatlah di samping


Kontingen Bandung Ada yang berjaket Bogor. 
Mereka dari mana-mana 
Semuanya kumal, semuanya tak bicara 
Tapi kita tidak akan terpatahkan 
Oleh seribu senjata dan seribu tiran


Tak sempat lagi kita pikirkan 
Keperluan-keperluan kecil seharian 
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan 
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam 
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.


1966


06:30


Di pusat Harmoni 
Pada papan adpertensi (Arloji Castell) 
Tertulis begini: “Dunia Kini Membutuhkan Waktu Yang Tepat”


Di belakangnya langit pagi 
Tembok sungai dan kawat berduri 
Pengawalan berjaga. Di istana


Arloji Castell Berkata pada setiap yang lewat
 “Dunia Kini Membutuhkan Waktu Yang Tepat”.


1966



Silhuet


Gerimis telah menangis 
Di atas bumi yang lelah 
Angin jalanan yang panjang 
Tak ada rumah. 
Kita tak berumah Kita hanya bayang-bayang


Gerimis telah menangis 
Di atas bumi yang letih Di atas jasad yang pedih 
Kita lapar. Kita amat lapar Bayang-bayang yang lapar


Gerimis telah menangis 
Di atas bumi yang sepi 
Sehabis pawai genderang 
Angin jalanan yang panjang 
Menyusup-nyusup Menusuk-nusuk
Bayang-bayang berjuta 
Berjuta bayang-bayang


Di bawah bayangan pilar 
Di bawah bayangan emas 
Berjuta bayang-bayang 
Menangisi gerimis Menangisi gunung api 
Kabut yang ungu 
Membelai perlahan 
Hutan-hutan Di selatan.


Juli, 1965


Bendera


Mereka yang berpakaian hitam 
Telah berhenti di depan sebuah rumah
Yang mengibarkan bendera duka 
Dan masuk dengan paksa


Mereka yang berpakaian hitam
Telah menurunkan bendera itu 
Di hadapan seorang ibu yang tua 
“Tidak ada pahlawan meninggal dunia!”


Mereka yang berpakaian hitam 
Dengan hati yang kelam 
Telah meninggalkan rumah itu 
Tergesa-gesa


Kemudian ibu tua itu 
Pelahan menaikkan kembali
Bendera yang duka 
Ke tiang yang duka.


1966


Nasihat-Nasihat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa


Jika adalah yang harus kaulakukan Ialah menyampaikan Kebenaran 
Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan Ialah yang bernama keyakinan 
Jika adalah yang harus kautumbangkan Ialah segala pohon-pohon kezaliman 
Jika adalah orang yang harus kauagungkan Ialah hanya Rasul Tuhan 
Jika adalah kesempatan memilih mati Ialah syahid di jalan Ilahi.


April, 1965


Persetujuan


Momentum telah dicapai. 
Kita Dalam estafet amat panjang 
Menyebar benih ini di bumi 
Telah sama berteguh hati


Adikku Kappi, engkau sangat muda 
Mari kita berpacu dengan sejarah 
Dan kini engkau di muka!


1966


La Strada atau Jalan Terpanggang Ini


Kini anak-anak itu telah berpawai pula 
Dipanggang panas matahari ibukota 
Setiap lewat depan kampus berpagar senjata 
Mereka berteriak dengan suara tinggi 
“Hidup kakak-kakak kami!”


Mereka telah direlakan ibu bapa 
Warganegara biasa negeri ini 
Yang melepas dengan doa 
Setiap pagi


Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah 
Kini telah melangkahkan sejarah.


1966


Dari Ibu Seorang Demonstran


“Ibu telah merelakan kalian Untuk berangkat demonstrasi 
Karena kalian pergi menyempurnakan Kemerdekaan negeri ini


Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada Atau gas airmata 
Tapi langsung peluru tajam 
Tapi itulah yang dihadapi Ayah kalian almarhum Delapan belas tahun yang lalu


Pergilah pergi, setiap pagi 
Setelah dahi dan pipi kalian Ibu ciumi 
Mungkin ini pelukan penghabisan 
(Ibu itu menyeka sudut matanya)


Tapi ingatlah, sekali lagi 
Jika logam itu memang memuat nama kalian (Ibu itu tersedu sesaat)


Ibu relakan 
Tapi jangan di saat terakhir 
Kauteriakkan kebencian Atau dendam kesumat Pada seseorang 
Walaupun betapa zalimnya Orang itu 
Niatkanlah menegakkan kalimah Allah Di atas bumi kita ini 
Sebelum kalian melangkah setiap pagi 
Sunyi dari dendam dan kebencian 
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan Serta Rasul kita yang tercinta


Pergilah pergi Iwan, Ida dan Hadi Pergilah pergi Pagi ini.”


(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka Dan berangkatlah mereka bertiga Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata).


1966


Yell


Tiga truk terbuka 
Lewat depan rumah
 Mereka menyanyi gembira “Buat Apa Sekolah”


Tas buku di tangan kiri 
Dibakar matahari, tak bertopi 
Mereka meneriakkan Kebenaran 
Yang telah lama dibungkamkan.


1966


Oda Bagi Seorang Supir Truk


Sebuah truk lama 
Dengan supir bersahaja 
Telah beruban dan agak bungkuk 
Di atas stirnya tertidur 
Di tepi jalan yang sepi 
Di suatu senja musim ini


Dalam tidurnya ia bermimpi Jalanan telah rata. 
Ditempuhnya Dengan sebuah truk baru 
Dengan klakson yang bisa berlagu 
Dan di sepanjang jalanan 
Beribu anak-anak demonstran 
Tersenyum padanya, mengelu-elukan 
“Hiduplah bapak supir yang tua Yang dulu berjuang bersama kami Selama demonstrasi!”


Di tepi sebuah jalan di ibukota 
Ketika udara panas, di suatu senja 
Seorang supir lusuh dengan truk yang tua 
Duduk sendiri terkantuk-kantuk 
Semakin letih, semakin bungkuk.


1966


Horison


Kami tidak bisa dibubarkan 
Apalagi dicoba dihalaukan 
Dari gelanggang ini


Karena ke kemah kami 
Sejarah sedang singgah 
Dan mengulurkan tangannya yang ramah


Tidak ada lagi sekarang waktu 
Untuk merenung panjang, untuk ragu-ragu 
Karena jalan masih jauh 
Karena Arif telah gugur 
Dan luka-luka duapuluh-satu.


1966


Rendez-Vous


Sejarah telah singgah 
Ke kemah kami Ia menegur sangat ramah 
Dan mengajak kami pergi


“Saya sudah mengetuk-ngetuk Pintu yang lain,” Katanya 
“Tapi amat heran Mereka berkali-kali menolakku Di ambang pintu.” 


Kini kami beratus-ribu 
Mengiringkan langkah Sejarah 
Dalam langkah yang seru Dan semakin cepat 
Semakin dahsyat Menderu-deru
Dalam angin berputar 
Badai peluru 
Topan bukit batu!


1966

Kata Itu, Suara Itu


Tiga buah panser kavaleri 
Membayang hitam malam ini Kami sama berjaga.
 Semua hening 
Seorang anak empat belas tahun 
Bertukar api rokok dengan kopral ini 
Gugus api berlompatan 
Cocktail Molotov di sudut berjajaran 
Sebagian tidur, sebagian berkawal 
Mungkin sebentar lagi mereka dibangunkan 
Atau pagi-pagi sekali bergerak 
Menyandang AK, perajurit ini berpapasan 
Dengan yang berjaket kuning, dalam gelap 
Tanpa kata, tanpa suara 
Ruangan yang suram Langit yang hitam 
Tiada kata, tiada suara 
Tapi satu sama lain tahu kata itu Tahu suara itu
 Suara bumi ini Suara berjuta
 Mereka berempat berjagalah malam ini 
Tanpa kata, tiada suara 
Tapi satu sama lain Tahu kata itu Paham suara itu.


1966


Malam Sabtu

Berjagalah terus 
Segala kemungkinan bisa terjadi Malam ini


Maukah kita dikutuk anak-cucu 
Menjelang akhir abad ini 
Karena kita kini berserah diri? 
Tidak. Tidak bisa


Tujuh korban telah jatuh. 
Dibunuh Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri 
Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya
Apakah kita hanya akan bernafas panjang 
Dan seperti biasa: sabar mengurut dada? 
Tidak. Tidak bisa


Dengarkan. 
Dengarkanlah di luar itu 
Suara doa berjuta-juta Rakyat yang resah dan menanti 
Mereka telah menanti lama sekali 
Menderita dalam nyeri 
Mereka sedang berdoa malam ini 
Dengar. Dengarlah hati-hati.


1966


Kemis Pagi


Hari ini kita tangkap tangan-tanganKebatilan 
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran 
Dan menaiki kereta-kereta kencana 
Dan menggunakan meterai kerajaan 
Dengan suara lantang memperatas-namakan Kawula dukana yang berpuluh-juta


Hari ini kita serahkan mereka 
Untuk digantung di tiang Keadilan 
Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana 
Bertahun-tahun lamanya


Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa 
Membeli benda-benda tanpa-harga di manca-negara 
Dan memperoleh uang emas beratus-juta 
Bagi diri sendiri, di bank-bank luar negeri 
Merekalah penganjur zina secara terbuka 
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita


Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan 
Kebanyakan anak-anak muda berumur baru belasan 
Yang berangkat dari rumah, pagi tanpa sarapan 
Telah kita naiki gedung-gedung itu 
Mereka semua pucat, tiada lagi berdaya 
Seorang ketika digiring, tersedu 
Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya 
Dan berjalan perlahan dengan lemahnya.


1966

Memang Selalu Demikian, Hadi


Setiap perjuangan selalu melahirkan 
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat 
Jangan kau gusar, Hadi


Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita 
Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang 
Jangan kau kecewa, Hadi


Setiap perjuangan yang akan menang 
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian 
Dan para jagoan kesiangan


Memang demikianlah halnya, Hadi.


1966

Stasiun Tugu


Tahun empatpuluh tujuh, suatu malam di bulan Mei 
Ketika kota menderai dalam gerimis yang renyai 
Di tiang barat lentera merah mengerjap dalam basah 
Menunggu perlahan naiknya tanda penghabisan


Kleneng andong terputus di jalan berlinangan 
Suram ruang setasiun, beranda dan tempat menunggu 
Truk menderu dan laskar berlagu lagu perjuangan 
Di Tugu seorang ibu menunggu, dua anak dipangku


Berhentilah waktu di stasiun Tugu, malam ini 
Di suatu malam yang renyai, tahun empatpuluh tujuh 
Para penjemput kereta Jakarta yang penghabisan 
Hujan pun aneh di bulan Mei, tak kunjung teduh


Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah 
Anak perempuan itu dua tahun, melekap dalam pangkuan 
Malam makin lembab, kuning gemetar lampu stasiun 
Kakaknya masih menyanyi ‘Satu Tujuh Delapan Tahun’


Udara telah larut tanda naik pelan-pelan 
Seluruh penjemput sama tegak, memandang ke arah barat 
Ibu muda menjagakan anaknya yang kantuk dalam lena 
Berkata: lambaikan tanganmu dan panggillah bapa


Wahai ibu muda, seharian atap-atap kota untukmu berbasah! 
Karena kezaliman militer pagi tadi terjadi di Klender 
Seluruh republik menundukkan kepala, nestapa dan resah 
Uap ungu berdesir menyeret gerbong jenazah terakhir.


1963


Orang Hutan


Perkenalkan anak-anak, saya hewan!
Nama saya Orang Hutan
Hobi saya di pohon berayun-ayunan
Alamat saya hutan Kalimantan.”


Anak-anak sekelas jadi heran dan gelak-gelak
Ada orang hutan lepas dari Kebun Binatang?
Tapi dia nampaknya baik dan tidak galak
Bentuknya memang seperti orang
Pak guru menerangkan di depan kelas
Pelajaran ilmu hewan supaya jelas:
“Memang di kalangan para hewan biasa
Orang Hutan paling mirip manusia”


“Tangannya ini panjang sekali, dua kali tinggi badan
Sering dipakai berayun dari dahan ke dahan pepohonan
Kakinya pendek, tapi jari kakinya pandai menggenggam
Sangat berguna di hutan siang dan malam”


Kemudian pak guru ilmu hayat berkata pula:
“Dia ini gemuk tak terkira
Kira-kira delapan puluh kilo berat badannya
Bulunya berwarna coklat tua”


Lantas dengan sopan dia minta permisi akan pergi segera
Bersalaman dengan guru ilmu hayat dan anak-anak dilambainya
“Selamat jalan Orang Hutan, baik-baik di jalan ya.”
Dia pulang ke Kebun Binatang, lompat lewat jendela.



TAUFIK ISMAIL


Lahir di BukittinggiSumatera Barat25 Juni 1935; umur 75 tahun, ialah seorang sastrawan Indonesia.

Dilahirkan di Bukittinggi, menghabiskan masa SD dan SMP di Bukittinggi dan SMA di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.

Semasa kuliah aktif sebgai Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan WaKa Dewan Mahasiswa UI (1961-1962).
Di Bogor pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor. Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa ke 15 negara dan menerima 1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih menjadi anggota Board of Trustees AFSIS di New York1974-1976.
Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan '66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang IndonesiaTirani dan BentengTiraniBentengBuku Tamu Musim PerjuanganSajak Ladang JagungKenalkan, Saya HewanPuisi-puisi LangitPrahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkkKetika Kata Ketika WarnaSeulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat ChrisyeYan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerja sama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.
Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia,AustraliaAmerikaEropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abadsebelumnya, di 3 tempat di Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar. Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang LaksamanaCheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di YunanRRC, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.
Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Mungkin dalam hal ini tiada teman baginya di Indonesia. Antologi puisinya berjudul Rendez-Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia (Rendez-Vous. Puisi Pilihan Taufiq Ismail. Moskow: Humanitary, 2004.)

Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas IowaAmerika Serikat (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993).



http://goesprih.blogspot.com/2008/01/kembalikan-indonesia-padaku-hari-depan.html
http://smayani.wordpress.com/2010/06/13/kumpulan-puisi-taufik-ismail/
http://id.wikipedia.org/wiki/Taufiq_Ismail